Saudaraku kaum muslimin, pada risalah tentang aqidah yang telah kami sampaikan lalu, kita telah membahas tentang apa hikmah diciptakannya manusia dan jin serta seluruh alam semesta ini. Ya, ternyata hikmahnya adalah agar kita semuanya beribadah kepada Alloh subhanahu wa ta’ala.
Maka barangsiapa telah menunaikan ibadah sebagaimana yang diperintahkan, berarti dia telah benar-benar mewujudkan tujuan penciptaan dirinya. Sedangkan barangsiapa meremehkan kewajiaban ibadah, berarti dia telah menyia-nyiakan tujuan penciptaan dirinya.
Saudaraku kaum muslimin, yang perlu kita ketahui sekarang adalah apa sebenarnya makna (pengertian) ibadah itu ? Dan bagaimana pula cara kita beribadah kepada Alloh ? Insya Alloh, uraian berikut ini akan membahas hal tersebut secara ringkas dan sederhana.
Ketahuilah, para ulama kita telah menjelaskan pada kita tentang apa ibadah itu. Diantara penjelasan yang paling ringkas tentang makna ibadah, adalah seperti dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berikut ini : “Ibadah itu adalah semua perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, yang dhohir (nampak) maupun yang bathin (tidak nampak).” (Al-Ubudiyyah (hal. 5) dan Majmu’ Al-Fatawa, 10/149)
Beliau juga berkata : “Ibadah itu adalah ketaatan kepada Alloh, dengan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya, melalui (perantaraan) lisan para rosul (utusan)-Nya.” (Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 37), karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh. Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam al-Fadhdholi al-Ba’dani hafidzohulloh, dalam hasyiyah-nya (catatan pinggir/catatan kaki) atas kitab Fathul Majid tersebut, yang beliau namai kitabnya At-Taudhihul Mufid ‘ala Kitab Fathil Majid, beliau berkata tentang ucapan Syaikhul Islam tersebut di atas : “Saya tidak mendapati sandaran/rujukan ucapan Syaikhul Islam tersebut di atas (yakni tidak diketahui dinukil dari kitab beliau yang mana dari kitab-kitab Syaikhul Islam yang sangat banyak itu), wallohu a’lam.
Jadi, berdasarkan definisi tersebut di atas, maka semua apa yang kita amalkan, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, selama hal itu adalah perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh, maka itu semua adalah ibadah. Dengan demikian, ibadah itu tidak bisa dibatasi dengan amal-amal tertentu atau jumlah tertentu. Dan yang dimaksud dengan perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh adalah perkara-perkara yang diperintahkan oleh-Nya untuk mengerjakannya, baik itu perintah yang wajib maupun yang mustahab (sunnah/tidak wajib). Al-Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata : “Ibadah kepada Alloh adalah mentaati-Nya, dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi/meninggalkan larangan-larangan-Nya.”
Demikian itulah makna ibadah. Lalu, bagaimana cara kita beribadah dan mendekatkan diri kepada Alloh ? Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin, ibadah yang kita lakukan, tidak akan bisa menjadi sempurna kecuali dengan mentaati Alloh ta’ala dalam semua perintah dan larangan-Nya (yakni kita lakukan dengan penuh ketulusan dan ikhlas hanya karena-Nya), kemudian kita juga mengikuti sunnah (jalan/petunjuk) yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang cara melaksanakan ibadah tersebut.
Alloh ta’ala berfirman :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robb-nya, maka hendaknya dia beramal sholih, dan tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Robb-nya.” (QS Al-Kahfi : 110)
Al-Imam Ibnu Katsir rohimahulloh menjelaskan makna “hendaknya dia beramal sholih”, yakni : “(dengan) segala sesuatu (amalan) yang sesuai dengan syari’at Alloh”. Adapun makna “dan tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Robb-nya”, yakni : “dia bertujuan dengan amalannya itu (mengharap) wajah Alloh saja (yakni ikhlas) dan tidak menyekutukan-Nya (dengan apapun).”
Beliau juga berkata : “Inilah dua rukun diterimanya amalan, (yakni) harus ikhlas karena Alloh dan showab (benar/cocok/sesuai) dengan syari’at (sunnah) Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa salam. (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, 3/152)
Al-Imam Al-Fudhoil bin ‘Iyadh rohimahulloh, ketika menjelaskan makna firman Alloh ta’ala (yang artinya) : “(Dia-lah Alloh) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah yang paling bagus amalannya.” (QS Al-Mulk : 2), beliau berkata : “(yang paling bagus amalannya) yakni yang paling ikhlas dan yang paling benar.”
Orang-orang bertanya kepada Al-Fudhoil rohimahulloh : “Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan “yang paling ikhlas dan yang paling benar” itu ?” Beliau menjawab : “Sesungguhnya amalan itu apabila dilakukan dengan ikhlas (saja) tetapi tidak benar, (hal itu) tidak akan diterima oleh Alloh, sampai keadaan amalannya tersebut Ikhlas dan benar. Ikhlas, yakni semata-mata karena Alloh. Benar, yakni sesuai dengan sunnah (tuntunan/petunjuk rosululloh).” (dinukil dari kitab Jami’ul Ulum wal Hikam, karya Al-Imam Ibnu Rojab Al-Hambali rohimahulloh, lihat juga kitab I’lamul Bahhatsah bi Maqoshidi al-Ushul ats-Tsalatsah (hal. 40), karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafidzohulloh)
Dalil-dalil lainnya dari Kitabulloh Al-Qur’an tentang pentingnya beramal itu harus memenuhi dua syarat tersebut di atas (yakni ikhlas dan benar/sesuai tuntunan rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam) sangat banyak. Adapun dalil-dalil dari hadits rosululloh, diantaranya adalah hadits dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa membuat-buat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini, dengan apa yang tidak ada (perintahnya) dari kami, maka amalan dia itu tertolak.” Dalam lafadz imam Muslim : “Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalannya itu tertolak.” (HR. Imam Al-Bukhori no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Demikianlah, dalil-dalil tersebut di atas menunjukkan pada kita, bahwa beribadah dan mendekatkan diri kepada Alloh haruslah dengan cara yang telah ditentukan oleh Alloh ta’ala dan rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang berarti kita tidak boleh membuat cara-cara atau metode sendiri, meskipun hal itu sesuai dengan akal, adat-istiadat, budaya atau keinginan hawa nafsu (selera) kita sendiri.
Dan juga beribadah itu tidak boleh kita lakukan dengan cara-cara bid’ah (mengada-ada perkara baru dalam beribadah dan beragama, edt.), apalagi kalau sampai melakukan kesyirikan dan kekufuran, atau ibadah dengan cara bermaksiat (melakukan perbuatan durhaka/menentang) kepada Alloh. Jika ibadah itu kita lakukan dengan cara-cara seperti itu, tentu ibadah kita tidak akan diterima oleh Alloh subhanahu wa ta’ala.
Demikianlah, semoga uraian yang ringkas ini memberikan semangat pada kita untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh Alloh ta’ala dan rosul-Nya, kemudian kita semakin waspada/berhati-hati dari cara-cara beribadah yang tidak sesuai dengan yang disyari’atkan oleh keduanya, meskipun masih banyak orang yang mengamalkannya, wallohu a’lamu bis showab.
Sumber : darul-ilmi.com
just write some good posts worth bookmarking - © My Smile Just For You...
5 comments
Saya juga sependapat sob bahwa Ibadah itu adalah ketaatan kepada Alloh, dengan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya, melalui (perantaraan) lisan para rosul (utusan)-Nya... terimakasih sob artikel yang sangat menarik :)
Artikel yg menarik tentang Ibadah apalagi di bulan Ramadhan ini, semoga kita bisa lebih meningkatkan ibadah kita. Amin.
wow bab ahsanul amal nih ^_^
terimakasih atas tausiyahnya yang sangat mencerahkan jiwa....salam :-)
Terima kasih atas petuahnya.
Segala sesuatu yang diniatkan untuk mencari ridha Allah akan bernilai ibadah.
Posting Komentar