Jutaan orang pulang ke kampung halaman untuk merayakan kebahagiaan bersama keluarga. Satu peristiwa yang tidak lagi hanya bernuasa religius, tetapi juga memiliki nilai sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik.
Dalam konteks berbeda, pada bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 20, tahun kedelapan hijriah Nabi bersama para Sahabatnya pernah mudik, setelah hampir delapan tahun dipaksa keluar (terusir) dari kampung halaman, Mekkah.
Nabi yang terusir dari kampungnya itu sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh seorang pendeta, Waraqah bin Naufal, sebagai tanda kenabian. Pada hari itu, Nabi memasuki kembali kota Makkah dengan kemenangan sesuai janji Allah.
Sebelum itu, saat masih di Mekkah berjuang menyebarkan Islam, Allah pernah menurunkan sebuah ayat: Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (QS. Al-Qashash : 85).
Tempat kembali (al-ma`aad) pada ayat tersebut dipahami oleh banyak ahli tafsir sebagai kota Mekkah, dan ini merupakan pertanda bahwa suatu saat Nabi akan keluar dari Mekkah dan kembali dengan kemenangan. Janji Allah terwujud saat Fath Makkah.
Hari kembali itu disebut sebagai yawm birr wa wafaa, hari kebajikan dan kesetiaan. Nabi kembali tidak untuk balas dendam kepada penduduk Mekkah, terutama para tokoh masyarakat yang pernah menyakitinya.
Justru kebaikan yang mereka dapat dari Nabi, bahkan mereka mengakuinya sebagai akhun kariim (saudara yang mulia) dan ibnu akhin kariim (putra saudara yang mulia).
Sembilan belas hari lamanya Nabi mudik merayakan kemenangan Fath Makkah, kota kelahirannya, dan setelah itu kembali lagi mudik ke Madinah, kampung halamannya yang kedua, tempat ia mengembangkan risalah dan tempat ia menjumpai Tuhannya.
Saat akan kembali Nabi mengingatkan penduduk Mekkah, “tidak ada lagi hijrah ke Madinah sejak kemenangan di Mekkah, yang ada tinggal niat yang tulus (melakukan kebajikan) disertai jihad (perjuangan mewujudkannya).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dua peristiwa yang berbeda; mudik saat lebaran dan fathu Makkah, tetapi sama-sama terjadi di penghujung Ramadhan untuk merayakan kemenangan, menebar kebaikan dan mewujudkan kesetiaan.
Memang, Ramadhan, dengan pelbagai amal ibadah yang wajib dan yang sunnah, adalah sebuah media untuk mempersiapkan landasan berupa jiwa yang suci. Pengantin yang sesungguhnya di bulan itu adalah Al-Qur`an dengan petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalamnya.
Seperti halnya tanah harus dipersiapkan sebelum ditanami, maka hati pun perlu ditata dan dibersihkan sebelum menerima ilmu dan petunjuk Al-Qur`an. Hati yang suci akan mudah menerima pantulan cahaya Ilahi.
Selanjutnya, cahaya tersebut akan mengalir ke dalam darah dan menggerakkan organ tubuh untuk melakukan amal kebajikan. Salah satu indikator pantulan cahaya tersebut adalah kedermawanan.
Sebuah hadis Nabi menggambarkan keterkaitan antara Ramadhan, Al-Qur`an dan kedermawanan. Ibnu Abbas RA menceritakan, Rasulullah adalah sosok manusia yang paling baik dan dermawan, lebih-lebih di bulan Ramadhan, saat ditemui Malaikat Jibril.
Jibril biasa mendatangi beliau di bulan Ramadhan pada setiap malam, mengajaknya bertadarus Al-Qur`an. Saat itulah Rasulullah begitu sangat baik melebihi angin yang bertiup kencang. (HR. Al-Bukhari).
Keterkaitan itu menunjukkan, jiwa yang terlatih dan terjaga kesuciannya, jika diisi dengan Al-Qur`an akan melahirkan sikap dan perilaku terpuji, yang salah satu indikator kuatnya adalah kedermawanan.
Itulah mengapa dalam hadis lain Rasulullah menyatakan, al-shadaqatu burhân (sedekah adalah petunjuk/ bukti). Kita berharap, di penghujung Ramadhan dan saat merayakan idul fitri, kedermawanan sebagai cerminan jiwa yang tersucikan dapat dirasa, bukan hanya sesaat, tetapi yang berkelanjutan.
Potensi ekonomi mudik sangat besar. Tidak berlebihan jika ada yang menyebutnya sebagai mudiknomics Indonesia. Ekonomi di daerah menggeliat dengan mengalirnya uang ke daerah-daerah di tanah air.
Sebagian mengalir lewat aktifitas mudik, dan sebagian lain melalui proses transfer. Salah satu harian nasional menyebut, sedikitnya Rp 50 triliun uang mengalir ke daerah.
Analisis dari Pusat data Kemiskinan Dompet Dhuafa menunjukkan potensi aliran uang mudik dari kota ke desa atau dari kota ke kota mencapai Rp 90,08 triliun.
Dengan dana sebesar itu, ekonomi di daerah-daerah seharusnya bisa ditingkatkan dalam jangka panjang, tidak hanya dalam jangka pendek saat mudik terjadi.
Menjadi kebahagiaan tersendiri bagi para pemudik ketika bisa menikmati hasil jerih payah bekerja selama satu tahun di rantau bersama keluarga dan sanak kerabat.
Ada yang membawa oleh-oleh dalam bentuk barang. Ada yang menyiapkan angpao untuk keponakan atau sanak saudara lainnya. Kebaikan dan kedermawanan terasa mengalir dari hulu sampai ke hilir. Semua bisa merasakan kebahagiaan berbagi di hari raya fitri.
Sayangnya, kondisi ini setiap tahun terjadi hanya bersifat jangka pendek. Kebanyakan pemudik menghabiskannya untuk hal-hal yang bersifat konsumtif; transportasi, rekreasi, makan dan belanja bersama keluarga, nyangoni keponakan dan lainya. Hanya sedikit yang menggunakan uangnya untuk berinvestasi di kampung halamannya.
Dengan semakin menjamurnya ritel-ritel di perkampungan dan besarnya biaya telekomunikasi bisa diduga uang yang dibawa ke daerah akan kembali tersedot ke pusat. Inilah yang membuat geliat ekonomi di daerah terkesan hanya sesaat.
Saatnya pemerintah dan masyarakat mencari pola pemberdayaan yang lebih produktif dan berdaya guna untuk kepentingan jangka panjang. Salah satu yang berpotensi adalah dana zakat para pemudik yang jumlahnya diperkirakan sangat besar.
Riset Dompet Dhuafa menemukan 52 persen lebih pemudik memilih menunaikan zakatnya di kampung halaman. Dengan potensi aliran uang mudik sebesar Rp 90,08 triliun, maka potensi zakatnya diperkirakan 14,7 triliun.
Penyaluran zakat di daerah akan lebih cepat sampai dan dirasa langsung oleh para mustahik, selain dapat memupuk rasa kesetiakawanan dan hubungan silaturahim.
Bukankah Nabi juga mengajarkan, sedekah kepada sanak kerabat yang membutuhkan akan membuahkan dua kebaikan; pahala sedekah dan pahala menyambung silaturahim.
Lembaga-Lembaga Amil Zakat (LAZ) bisa memfasilitasi penerimaan zakat di daerah dan memberdayakannya melalui kegiatan-kegiatan produktif. Pemerintah daerah pun bisa memfasilitasi potensi ekonomi mudik tersebut dengan membentuk dana investasi daerah.
Bila itu terjadi, pemerataan ekonomi bukan lagi sekadar teori. Saat itulah, para pemudik bisa mengatakan kepada sanak kerabat di kampung, “tidak ada lagi hijrah (urbanisasi) ke kota, sejak ada pemerataan ekonomi di daerah, yang ada tinggal niat yang tulus (melakukan kebajikan) disertai jihad (perjuangan mewujudkannya)”. Demikian, wallahua`lam.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Muchlis M Hanafi
Redaktur : Damanhuri Zuhri
Dikutip Ulang oleh : Senyumku Dakwahku ~ http://senyumkudakwahku.blogspot.com/
just write some good posts worth bookmarking - © My Smile Just For You...
Posting Komentar